Cerita Pendek: Eja Bersekutu dengan Plankton.
Ketika Liburan ke Karimunjawa Berubah Jadi Misi Penyelamatan Plankton.
Ini adalah cerita pengalamanku saat kelas 4 Sekolah Dasar. Seperti biasa, setiap jam istirahat, aku, Bayu, dan Ayu duduk di taman yang berada persis di depan perpustakaan. Bukan untuk membaca, kami hanya mengobrol dan bercerita tentang liburan akhir tahun. Bayu bercerita tentang keluarganya yang berlibur ke Singapura, memamerkan fotonya dengan Merlion.
“Lihat nih, keren kan patungnya?” kata Bayu bangga.
“Ih, kok patungnya muntah gitu sih? Masuk angin ya, dia?” ucap Ayu spontan.
“Enggak dong…” kataku.
“Mabuk laut dia. Pasti pusing melihat air melulu. Oh iya, nih buat kalian!” Bayu memberikan sebotol air untuk aku dan Ayu. Aku dan Ayu mengerutkan dahi, menengok ke arah Bayu. “Oleh-oleh dari Singapura,” katanya. Aku dan Ayu terkesima.
“Wah, ini air apa, Bay?” tanya Ayu.
“Muntahan patung singa. Mahal lho, itu!”
“Bayu… Bayu…” Aku menggelengkan kepala. “Lu memang teman gue yang paling keren.”
Sementara Ayu bercerita mengenai asiknya pergi ke Bali melihat sunset di Pantai Pandawa. Dia memang tidak berfoto atau membawakan pasir pantai sebagai oleh-oleh. Tetapi aku percaya. Terlihat dari kulitnya yang semakin eksotis.
“Kalau lu ke mana aja?” tanya Bayu.
“Gue cuma liburan ke rumah Kakek…”
“Cuma Kakek? Nenek lu ke mana?” tanya Ayu memotong ceritaku.
“Nenekku sudah pindah rumah.”
“Ke mana?” tanya Ayu lagi.
“Ke atas.”
“Jadi, Nenekmu tinggal di langit?”
“Iya, Ayu…” sahut Bayu gemas. “Bisa diam enggak lo? Eja mau cerita tuh,” tambahnya. Ayu menganggukkan kepalanya.
Kakekku tinggal di sekitar Taman Nasional Karimunjawa. Aku banyak bermain dengan biota laut di sana. Hari itu cuacanya cerah. Pagi-pagi setelah sarapan, Kakek buru-buru mengajakku pergi ke penangkaran penyu.
“Ayo, cepat!” Kakek menepuk pundakku. “Kakek enggak mau ketinggalan momen pelepasan tukik,” katanya.
Aku buru-buru menghabiskan sarapanku dan langsung pergi tanpa minum terlebih dahulu. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai di bibir pantai dengan berjalan kaki. Lalu 10 menit naik perahu ke Pulau Legon Jaten, tempat penangkaran penyu dan pelepasan tukik.
“Kek, aku haus. Seret nih. Tadi enggak sempat minum,” kataku dengan suara serak. “Itu ada warung. Nanti kita beli minum di sana,” katanya.
Aku menghabiskan setengah botol air tersebut hanya dalam waktu beberapa menit dan menyimpan sisanya untuk di perjalanan. Kami melewati sungai yang cukup besar. Sungainya begitu indah, kami berhenti sejenak untuk beristirahat.
“Bagus kan, Ja? Yang perlu kamu tahu, arus sungai pasti selalu berakhir di lautan lepas,” katanya. “Oh, gitu, Kek.” Aku membuka tutup botol dan menghabiskan air sambil menikmati pemandangan sungai.
“Eits, mau ngapain kamu?” Kakek mencegahku.
“Mau buang sampah, Kek,” jawabku.
“Jangan di sungai dong. Sayang!”
“Kenapa? Kan cuma satu,” jawabku ngeyel.
“Kalau ada 1.000 orang melihat kamu buang sampah di sungai dan mereka ikut buang sampah di sungai ini juga, gimana?”
“Tapi di sini enggak ada orang selain kita berdua, Kek.”
Kakek menghela napas sejenak.
“Kamu tahu Plankton?”
“Tahu. Dia yang suka bikin alat-alat canggih buat nyuri Krabby Patty itu kan? Aku suka dia. Dia keren tapi alatnya payah. Enggak ada satupun yang berhasil, aku harap aku bisa bantu dia,” jawabku. “…dan botol plastik ini bisa membunuh plankton.”
“Tapi kan plankton di laut, kan aku buangnya di sungai.”
“Ingat kata Kakek tadi?”
“Plastik membunuh plankton?”
“Yang sebelumnya.”
“Setiap sungai…” aku berpikir sejenak. Kakek menganggukkan kepalanya. “…berakhir di lautan lepas,” kataku.
Kakek bercerita tentang salah satu kerabat plankton yang namanya fitoplankton. “Plankton yang ini memang enggak bisa bikin alat canggih buat nyuri Krabby Patty,” katanya. “…tapi dia bisa berfotosintesis, mengubah zat karbon dioksida yang ada di atmosfer jadi oksigen.”
“Aku juga bisa fotosintesis makanan.”
“Maksudnya?” tanya Kakekku.
“Seminggu yang lalu aku mengubah makanan zat padat jadi zat cair. Lewat anus,” kataku.
“Itu mah kamu mencret,” katanya sambil mengelus kepalaku. Kami melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan, dia terus membicarakan fakta tentang fitoplankton yang lebih banyak menyumbangkan oksigen ke bumi daripada hutan. Tanpa adanya fitoplankton, bumi akan dipenuhi karbon dioksida dan akan membuat suhu bumi menjadi lebih panas dari sekarang. “Kamu bisa bantu plankton dengan menjaga lingkungan dan tidak membuang sampah sembarangan ke sungai,” katanya.
“Eh, bentar…” kataku.
“Kenapa, Ja?” tanya Bayu.
“Aku mau fotosintesis makanan.” Aku berlari mencari toilet terdekat.
“Hah?!” Bayu dan Ayu kompak menutup hidung mereka.
— Tamat —